14 Mei, 2009

SISTEM JUMLAH PENGUNJUNG KANTIN 27

A. Elemen penting yang terdapat dalam system tersebut adalah :

1. Pengunjung

2. Makanan yang di jajakan

3. Kantin itu sendiri

B. Data Penelitian

No

Rentang Waktu (menit)

Jumlah Pengunjung

1

0-5

2

2

5-10

2

3

10-15

6

4

15-20

1

5

20-25

5


C.
Diagram Dari Pengambilan Data









D. Grafik Dari Pengambilan Data

25 Maret, 2009

BALLPOINT

Pendahuluan

Pengertian Ballpoint

Ballpoint atau pulpen adalah sejenis alat tulis (secara spesifik merujuk kepada sejenis pen) yang bentuk dan ukurannya mirip dengan pensil. Pulpen populer karena murah dan mudah digunakan.

Sejarah Ballpoint

Sekarang kita lihat bagaimana asal-muasalnya pulpen, siapa penemunya, kapan ditemukannya, dll... Pulpen diciptakan oleh jurnalis Hungaria, Laszlo Biro/Ladislao Biro pada tahun 1938. Biro memperhatikan bahwa tinta yang digunakan dalam percetakan surat kabar mengering dengan cepat dan tidak meninggalkan noda pada kertasnya. Kesulitan-kesulitan lain saat menggunakan pena untuk mengoreksi naskah-naskah yang ditulis pada kertas tipis seperti tinta yang melebar, tumpah atau kertas yang sobek karena sabetan pena yang cukup tajam.

Bersama saudara lelakinya George, seorang kimiawan, dia mengembangkan ujung pen yang baru yang tersiri dari sebuah bola yang dapat berputar dengan bebas pada sebuah lubang. Saat berputar, bola tersebut akan mengambil tinta dari sebuah cartridge, tinta membasahi bola kecil yang mengalir secara kapiler dan dengan bantuan gravitasi. dan kemudian menggelinding agar melekatkannya pada kertas. Karena bola kecil itulah maka pena baru itu dinamakan Ball Point Pen atau yang lazim dikenal dengan nama bolpen.

Rancangan ini kemudian dipatenkan di Argentina pada 10 Juni 1943 dan dijual dengan merek Birome, yang masih bertahan hingga saat ini.

Awalnya, alat tulis yang menggunakan tinta adalah pena dan tinta yang digunakan terpisah. Pena yang digunakan pada awalnya dibuat dari bulu angsa seperti yang lazim digunakan di Eropa pada abad pertengahan, batang alang-alang air yang digunakan di Timur Tengah atau bahkan kuas yang digunakan di Tiongkok dan Jepang. Kelemahannya adalah penggunaannya sering merepotkan para pemakainya karena tintanya berceceran atau bahkan tumpah di atas kertas.

Pulpen mempunyai ruang internal yang diisikan tinta melekat. Tinta tersebut disalurkan melalui ujungnya saat digunakan dengan penggelindingan sebuah bola kecil (berdiameter sekitar 0,7 mm hingga 1 mm) dari bahan logam. Tintanya segera kering setelah menyentuh kertas.

Cara menggunakannya pun sangat mudah sekali, semua orangpun bisa menggunakannya.cukup di pegang saja ballpointnya kemudian di coretkan pada media tulis apa saja.

Kegunaan ballpoint adalah untuk memudahkan kita dalam mencatat/menulis sesuatu.

Dampak positif dalam kehidupan masyarakat

- Masyarakat dapat mencatat segala sesuatu dengan mudah,

- Alat yang praktis digunakan oleh seluruh lapisan masyarakat,

- Ekonomis, karena harganya bisa terjangkau oleh semua orang.

Dampak negatif dalam kehidupan masyarakat

- Akan mencemari lingkungan apabila ballpointnya sudah tidak terpakai lagi,

- Tintanya tidak mudah hilang apabila terkena pakaian,

- Berbahaya bagi anak-anak dibawah umur 7 tahun.

Solusi untuk mengurangi dampak negatif yang terjadi

- Mendaur ulang limbah-limbah plastik termasuk ballpoint yang tidak layak pakai lagi,

- Menjauhkannya dari anak-anak dibawah umur 7 tahun,

- Sebaiknya menyiapkan tempat khusus untuk ballpoint.

16 Januari, 2009

Tahu


Bermula dari kreativitas yang dimiliki oleh istri Ongkino, yang memang semenjak awal sebagai orang yang pertama kali memiliki ide untuk memproduksi Tou Fu (dari bahasa Tionghoa yang berarti sama) yang lambat laun menjadi berubah nama menjadi “Tahu”. Tahun demi tahun, Ongkino beserta istri tercinta terus menggeluti usaha mereka hingga sekitar tahun 1917 anak tunggal mereka Ong Bung Keng menyusul kedua orang tuanya ke tanah Sumedang. Bung Keng kemudian melanjutkan usaha kedua orang tuanya yang sampai keduanya memilih kembali ke tanah kelahiran mereka di Hokkian, Republik Rakyat Cina.

Melalui alih generasi Ong Bung Keng, anak tunggal Ongkino, terus melanjutkan usaha yang diwariskan dari kedua orang tuanya hingga akhir hayatnya di usia 92 tahun. Di balik kemasyhuran tahu Sumedang ada pula kisah yang berbau mistik, seperti apa yang diceritakan cucu dari Ongkino, Suryadi. Sekira tahun 1928, konon suatu hari tempat usaha sang kakek buyutnya, Ong Bung Keng, didatangi oleh Bupati Sumedang, Pangeran Soeria Atmadja yang kebetulan tengah melintas dengan menggunakan dokar dalam perjalanan menuju Situraja. Kebetulan, sang Pangeran melihat seorang kakek sedang menggoreng sesuatu. Pangeran Soeria Atmadja langsung turun begitu melihat bentuk makanan yang amat unik serta baunya yang harum. Sang bupati, Pangeran Soeria Atmadja kemudian bertanya kepada sang kakek, “Maneh keur ngagoreng naon? (Kamu sedang menggoreng apa?)”. Sang kakek berusaha menjawab sebisanya dan menjelaskan bahwa makanan yang ia goreng berasal dari Tou Fu China. Karena penasaran, sang bupati langsung mencoba satu. Setelah mencicipi sesaat, bupati secara spontan berkata “Enak benar masakan ini! Coba kalau kamu jual, pasti laris!”, dengan wajah puas. Tak lama setelah kejadian ini, Tahu Sumedang digemari oleh penduduk Sumedang dan kemudian sampai ke seluruh Indonesia

Wayang Golek



Wayang golek adalah salah satu kesenian khas tanah Sunda. Pada umumnya wayang golek masih dibuat secara tradisional oleh penduduk desa-desa tertentu di Jawa Barat. Wayang golek saat ini lebih dominan sebagai seni pertunjukan rakyat, yang memiliki fungsi yang relevan dengan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lingkungannya, baik kebutuhan spiritual maupun material. Hal demikian dapat kita lihat dari beberapa kegiatan di masyarakat misalnya ketika ada perayaan, baik hajatan (pesta kenduri) dalam rangka khitanan, pernikahan dan lain-lain adakalanya diriingi dengan pertunjukan wayang golek.

Selain itu, karena ke khasanya wayang golek juga sering difungsikan sebagai sufenir / tanda mata khas tanah Sunda. Harga wayang golek relatif murah, kisaranya sangat ditentukan oleh ketelitian dari ukiran / tingkat kesulitan dalam pembuatanya juga bahan bakunya. Menurun Mang Iin salah satu pengrajin Wayang golek dari daerah Rancakalong, Sumedang, untuk wayang dengan detail yang tidak terlalu rumit beliau bisa menyelesaikan 3-4 buah wayang sehari, sedangkan untuk wayang dengan detail / kualitas tinggi bisa membutuhkan waktu 3-4 hari untuk menyelesaikan sebuah wayang. Pada umumnya wayang dibuat dari kayu albasia dipasarkan dengan kisaran harga Rp. 15.000 / unit lengkap dengan pakaian dan aksesoris. Sedangkan wayang kualitas lebih baik dengan menggunakan kayu mahoni dll. dipasarkan dengan harga Rp. 40.000 s/d Rp. 150.000 / unit.

Salak Bongkok



  • Deskripsi
Nama salak bongkok didasarkan pada daerah asal salak ini, yaitu Desa Bongkok, Sumedang, Jawa Barat. Dalam satu tandan terdapat dua macam bentuk buah, yaitu lonjong panjang dan bulat buntek. Kulit buahnya bersisik besar dan berwarna merah kecokelatan mengkilat. Daging buahnya tebal dan rasanya manis. Bijinya besar dan dalam tiap buah terdapat 2-3 biji. Ukuran buahnya besar dengan diameter dapat mencapai 6 cm. Setiap rumpun dapat menghasilkan 5-7 tandan.

  • Manfaat
Buah salak dapat dimakan segar atau dibuat manisan dan asinan. Batangnya tidak dapat digunakan untuk bahan bangunan atau kayu bakar. Namun, tanaman salak baik untuk batas kebun sekaligus sebagai pengaman kebun.

  • Syarat Tumbuh
Salak tumbuh baik di dataran rendah hingga ketinggian 500 m dpl dengan tipe iklim basah. Tipe tanah podsolik dan regosol atau latosol disenangi oleh tanaman salak. Lingkungan yang dikehendaki mempunyai pH 5-7, curah hujan 1500--3000 mm per tahun dengan musim kering antara 4-6 bulan. Pada kondisi lingkungan yang sesuai, tanaman mulai berbuah pada umur tiga tahun. Tanaman salak muda lebih senang hidup di tempat teduh atau di bawah naungan. Oleh karena itu, umumnya salak ditanam di bawah tanaman duku, durian, atau pohon jinjing atau sengon (Albezia sp.).

  • Pedoman Budidaya
Perbanyakan tanaman: Salak umumnya ditanam dari biji yang diambil dari pohon salak yang bermutu baik. Namun, tanaman dari biji tidak selalu sama dengan sifat induknya (selalu berubah). Tanaman salak mulai berbuah setelah umur 3-4 tahun. Cara lain yang dikembangkan pada saat ini adalah melalui anakan atau biasa disebut "cangkokan". Bibit dibuat dengan membumbungkan (memasukkan) potongan bambu pada pangkal tunas anakan pohon salak unggul tersebut. Potongan botol plastik atau botol infusan juga dapat digunakan sebagai bumbungan. Media cangkok yang digunakan adalah campuran tanah dan kompos (perbandingan 2:1). Setelah tunas anakan berakar dalam bumbung, bibit vegetatif ini dapat disapih. Untuk mempercepat tumbuhnya akar, biasanya pada anakan diberi Rootone-F sebanyak 1%. Budi daya tanaman: Biji ditanam langsung dalam lubang, sebanyak 3-4 biji per lubang. Ukuran lubang dibuat 50 cm x 50 cm x 40 cm, jarak antar lubang 2 m x 4 m atau 3 m x 4 m. Setiap lubang diberi pupuk kandang sebanyak 10-20 kg. Sebulan kemudian, biji mulai tumbuh. Seleksi atau pembuangan tanaman yang tidak dipilih dilakukan setelah mulai berbunga, yakni setelah berumur tiga tahun. Dalam setiap lubang ditinggalkan satu pohon yang berbunga betina atau campuran. Tanaman jantan disisakan 10% dari populasi yang ditanam sebagai sumber pejantan. Pupuk buatan diberikan tiga bulan sekali sebanyak 25-500 g NPK (15-15-15) dan terus meningkat sesuai umur tanaman. Pada umur 1-3 tahun sebanyak 25-300 g per pohon, lalu umur 3-10 tahun sebanyak 300--500 g per pohon. Pada penanaman dengan cangkok, tiap lubang hanya ditanam satu bibit saja. Tanaman dijaga agar tetap lembap, cukup air, dan mendapat naungan. Leguminose dan Gliricidia (gamal) dapat digunakan sebagai naungan. Pelepah daun paling bawah dikurangi agar matahari masuk merata dan memudahkan pekerja pemeliharaan melewati jalan di antara barlsan tanaman.

  • Pemeliharaan
Pemeliharaan tanaman salak yang penting adalah menjaga kebersihan kebun dan membuang tunas anakan yang muncul. Umumnya, pembuangan tunas anakan dilakukan setelah dicangkok dan terus hidup. Jumlah daun yang disisakan maksimum sekitar 17 helai. Pelepah daun dipangkas dengan gergaji atau sabit tajam. Dengan cara ini, sinar matahari dapat masuk ke kebun salak dan pengambilan buah pun mudah dilakukan. Biasanya, bakal buah sebesar kelereng tumbuh rapat sekali pada tiap tandan. Bakal buah perlu dibuang (penjarangan) agar buah salak tumbuh besar dan merata.

  • Hama dan Penyakit
Hama yang timbul pada tanaman salak adalah kutu wol (putih) atau Cerataphis sp. yang bersembunyi di sela-sela buah. Selain itu, kumbang (uret) atau omotemnus sp. sebagai penggerek tunas. Tupai dan tikus juga menjadi hama yang menjengkelkan. Hama ini dapat diatasi dengan Furadan 3 G dan semprotan insektisida Tamaron 0,3%. Penyakit yang sering tampak adalah noda hitam pada daun akibat cendawan Pestalotia sp. dan penyalat busuk merah (pink) pada buah dan batang oleh cendawan Corticium salmonicolor. Tanaman sakit dan daun yang terserang harus dipotong dan dibakar di tempat tertentu karena sulit dikendalikan.

  • Panen dan Pasca Panen
Buah salak dapat dipanen setelah matang benar di pohon, biasanya berumur enam bulan setelah bunga mekar (anthesis). Hal ini ditandai oleh sisik yang telah jarang, warna kulit buah merah kehitaman atau kuning tua, dan bulu-bulunya telah hilang. Ujung kulit buah (bagian buah yang meruncing) terasa lunak bila ditekan. Pemanenan buah dengan cara memotong tangkai tandannya. Hasil tanaman salak di Bali dapat mencapai 15 ton/hektar. Panen besar antara bulan Oktober-Januari.

MAENPO


 


Maenpo tradisi yang hampir punah

Lelaki tua itu menaiki tangga. Sedikit tertatih. Tubuh kurusnya doyong ketika berdiri. Tapi, begitu gendang ditabuh, dengan tangkas ia melayani serangan. Lawannya lebih besar dan muda. Tak jadi masalah.

Geraknya cepat. Tangannya berkelebat menyerang. Lawan pun jatuh. Tepik sorak dan tepuk tangan langsung bergemuruh di Gedung Kesenian Cianjur pada akhir pekan lalu. Tak sedikit yang berdecak kagum.

Gan Ita Sasmita, lelaki tua itu biasa dipanggil. Dia adalah salah satu sesepuh aliran pencak silat Cikalong. Umurnya 84 tahun. Meski uzur, Kalau sudah ulinan (bermain silat berpasangan), langsung keluar lincahnya, kata sesepuh aliran Sahbandar, Memet M. Tohir.

Gan Ita menjadi salah satu penampil pada malam gelar seni untuk menyambut rombongan Wisata Silat 2007 dari Komunitas Sahabat Silat (Jakarta) dan tamu Presiden Persekutuan Silat Antarbangsa Eddie Nalapraya.

Tujuan dari wisata silat ini adalah untuk menggali kembali kekayaan budaya pencak silat tradisional di Cianjur, ujar aktivis komunitas, Ki Sawung. Cianjur memang terkenal kaya warisan budaya pencak silat.

Menurut Bupati Tjetjep Muchtar Soleh, pencak silat, atau maenpo dalam bahasa Sunda, adalah budaya yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Cianjur. Sebagian menyebutnya amengan atau ulinan, katanya.

Keseluruhan warisan budaya ini sudah berlangsung lama ketika Cianjur menjadi salah satu pusat kebudayaan dan peradaban di tatar Sunda pada zaman dulu.

Kota yang berada di ketinggian sekitar 2.300 meter di atas permukaan laut itu didirikan oleh Raden Aria Wiratanu Datar, putra dari Raden Arya Wangsa Goparana, keturunan penguasa Kerajaan Talaga.

Aria Wiratanu Datar lantas mendirikan kerajaan di Cianjur yang mandiri atau tidak berada di bawah Batavia (Belanda) ataupun Mataram, Banten, dan Cirebon.

Belanda pun mengakui eksistensi negeri Cianjur. Buktinya, Gubernur Jenderal Cornelis Speelman mengundang Raja Cianjur untuk menghadiri serah-terima jabatan gubernur jenderal. Arya Wiratanu Datar wafat pada 1691 dan dimakamkan di Cikundul.

Salah seorang keturunan Arya Wiratanu, Raden Djaja Perbata atau Haji Ibrahim, menciptakan aliran silat baru setelah melakukan khalwat (mengasingkan diri) di sebuah gua di Kampung Jilebut di tepi Sungai Cikundul Leutik di wilayah Cikalong Kulon.

Sebelum menyempurnakan gerakannya, Haji Ibrahim sempat berguru pada beberapa orang, terutama Bang Kari dan Bang Madi dari Betawi. Aliran silat ini kemudian disebut Cikalong.

Pada masa yang sama, ada tokoh silat yang juga memiliki bela diri yang istimewa. Dia adalah Muhammad Kosim, seorang perantau dari Pagaruyung, Sumatera Barat. Dia tinggal di Kampung Sabandar, Cianjur.

Haji Ibrahim kala itu mendapati bahwa beberapa muridnya juga belajar pada Mamak (sebutan untuk orang tua di Sunda) Kosim, yang kemudian dikenal dengan sebutan Mamak Sabandar.

Kedua pendekar besar tersebut akhirnya bertemu. Keduanya pun mengakui keunggulan masing masing. Kesimpulannya, mereka tidak bisa saling mengalahkan.

Karena generasi kedua aliran Cikalong banyak belajar kepada Mamak Sabandar, gaya Cikalong otomatis dipengaruhi oleh aliran Sabandar ini.

Semuanya terpengaruh oleh katumanan (kebiasaan yang baku), lampah (gerak langkah), dan tabeat (pembawaan sifat) Sabandar, kata sesepuh Sabandar, Pepen Effendi.

Itu sebabnya karakter aliran yang ada di Cianjur dipastikan mengikuti kaidah dua guru utama Cikalong, yakni Madi dan Kari, ditambah dengan Sabandar.

Sabandar mengalirkan tenaga lawan dengan menggunakan gerakan dasar, Madi digunakan membendung tenaga lawan lewat gerakan yang terlatih, sedangkan Kari adalah untuk melumpuhkan lawan dengan menyerang titik kelemahan tubuh, ujar Pepen.

Secara geografis, ada tiga tempat utama penyebaran aliran maenpo di Cianjur. Cikalong banyak dipelajari dan dikembangkan di Pasar Baru Cianjur. Sabandar lebih banyak digandrungi di Bojong Herang. Cikaret merupakan tempat aliran Kari berkembang.

Aliran Kari Cikaret dikembangkan oleh Aa Oha dan saudaranya, Aa Aman. Walaupun dipengaruhi oleh Cikalong dan jurus lima Sabandar, Cikaret menitikberatkan pada permainan Kari atau perpeuhan (pukulan).

Karena itu, sedikit berbeda dengan aliran lain yang lembut, jurus-jurus Cikaret justru sangat keras dan cepat, ujar Wak Dudun, sesepuh Cikaret.

Sampai saat ini perkembangan ketiga aliran di Cianjur itu masih terjaga dengan baik di lingkungan pusatnya masing-masing. Meski begitu, para sesepuh mulai prihatin. Sebab, sedikit generasi muda yang menaruh perhatian terhadap silat tradisional ini.

Walau pencak silat diajarkan di tingkat sekolah dasar, setelah dewasa, banyak dari mereka yang tidak lagi berminat untuk mempelajari pencak silat.

Jika saja suatu saat generasi sepuh seperti Gan Ita Sasmita sudah tiada, entah siapa lagi yang akan melestarikan budaya asli Cianjur ini.


 

Kebun Raya Cibodas


Kebun Raya Cibodas Lebih dari Sekadar Taman Rekreasi

Cianjur – Menyebut Cibodas, pikiran akan melayang pada bayangan daerah hijau bergelombang dengan latar dua puncak gunung. Cibodas memang adalah salah satu daerah tujuan wisata. Sepanjang waktu, terlebih di musim libur, daerah ini selalu ramai dikunjungi, khususnya Kebun Raya Cibodas (KRC) yang legendaris itu. Sayang, kebun ini baru dianggap sebagai taman rekreasi, bukan sebagai tempat koleksi flora pegunungan terlengkap, dan juga bukan sebagai kebun penelitian.

Jika ditangani secara sungguh-sungguh bukan tidak mungkin wisata arkeologi akan mendapat tempat di dunia pariwisata. Selama ini wisata arkeologi agaknya hanya bertumpu pada Candi Borobudur. Padahal sebenarnya peninggalan-peninggalan arkeologi di Indonesia sangat banyak jumlah dan ragamnya.

Di musim libur, karpet hijau KRC nyaris tertutup oleh alas pengunjung. Dari catatan pengelola, setiap tahun KRC dikunjungi tidak kurang dari satu juta orang. Hanya lima persen saja pengunjung yang tercatat dari mancanegara. Sudah jadi kebiasaan, pengunjung negeri sendiri gemar sekali berleha-leha di bawah pohon tinggi dengan beralaskan tikar. Malah, ada yang datang hanya untuk menikmati udara segar sambil makan bekal bersama keluarga. Habis itu leha-leha di bawah pohon nan rindang. Kenyataan ini diakui Ir. Holif Immamudin, Kepala Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan KRC. ”Memang pengunjung yang peduli dengan informasi tumbuhan dan kebun jumlahnya tak sampai sepuluh persen.”

Perlu Dana

Anggapan hanya sebatas taman rekreasi tentu tak menguntungkan KRC. Padahal, sebagai balai konservasi tumbuhan KRC berpotensi mengembangkan ”jualannya”. Beragam obyek wisata yang dimiliki bisa didorong jadi primadona kawasan. Kalau lancar, dana yang terkumpul bisa menambal kas KRC. Kata Holif, dana rutin sebesar 2,4 milyar rupiah per bulan dirasakan terlalu minim untuk mengelola kebun seluas 125 hektare ini.

Belanja bulanan sudah habis sekitar 1,7 milyar rupiah, termasuk bayar listrik dan telepon sekitar 8 jutaan. Sisanya dialokasikan untuk menutup ongkos perawatan dan pemeliharaan kebun. ”Nah, bisa dibayangkan, mana cukup uang segitu buat merawat kebun,” timpal Didin Ahmad Nurdin, Kasubag Tata Usaha KRC.

Meski terasa kurang, Holif dan Didin masih punya harapan dalam mengelola kebun konservasi ini. Terlebih sejak tahun lalu status KRC telah naik jabatan, dari eselon IV ke eselon III. Alhasil, bila sebelumnya cabang balai saat ini menjadi Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Tumbuhan lewat SK Kepala LIPI No. 1017/M/2002. ”Adanya perubahan ini membuat kami jadi lebih mandiri.”

Untuk membuktikan ”kehebatan” KRC Didin dan Holif mengajak berkeliling sejumlah wartawan Ibu Kota beberapa waktu lalu. Awal perjalanan dimulai dengan melihat rumah bertingkat yang sudah dibangun dari zaman Belanda. Pada masa itu, rumah ini dipakai sebagai rumah administratur kebun.

Rumah ini disewakan kepada pengunjung yang tertarik menginap. Harganya, 800.000 perak dengan fasilitas, lima kamar, tv, water heater dan lainnya. Sedang untuk ransum, dipungut 35.000 per orang, makan ”berat” tiga kali dan kudapan dua kali.


Bunga Bangkai

Puas melongok bangunan yang pernah direnovasi pada 1946 -1947 ini, kami berjalan menuju tanaman Amorphophallus titanum. Sebagian wartawan memang sudah begitu ngebet pengen melihat tanaman langka ini. Apalagi Holif sudah banyak cerita kalau bunga tanaman ini akan mekar dalam waktu beberapa hari. Amorphophallus titanum koleksi kebun yang baru saja berulang tahun ke 151 pada 11 April lalu, didapat dari eksplorasi di Danau Gunung Tujuh Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi. Tanaman ini diambil pada ketinggian 1450 meter dpl pada 9 Juni 2000. Dan ditanam pertama kali dalam bentuk umbi di Cibodas pada 26 Juni 2000. Rencana ke depan, Holif dan kawan-kawan akan membangun taman khusus untuk Amorphophallus. Lokasinya sudah disiapkan, tak seberapa jauh dari rumah bertingkat. Ini yang bakal jadi primadona berikut KRC. ”Kakak” nya, Kebun Raya Bogor (KRB), saja tak punya kebun sejenis. ”Kami ingin taman khusus ini jadi point of interest dari wisatawan. Tentunya dikembangkan dengan basis konservasi yang dipadukan dengan nilai estetikanya,” jelas Holif. Selain taman Amorphophallus, juga akan dibangun taman Rhododendron, taman Medinilla, taman Sakura dan Sakura Avenue.
Rumah Kaca

Tujuan wisata berikutnya rumah kaca. Ada lima buah rumah kaca yang bisa ditemui, kaktus, sukulen, anggrek, penjualan tanaman dan persemaian. Untuk rumah kaca kaktus dan sukulen menampung 353 jenis. Koleksinya datang dari seluruh dunia, termasuk Agave, Dracaena, Sansevieria, Yucca dan Aloe. Paling asyik melihat-lihat rumah kaca anggrek. Jangan bandingkan rumah koleksi anggrek Cibodas dengan rumah sejenis di KRB. Teknologinya memang jauh tertinggal. Tapi tidak untuk koleksinya. Anggrek yang ada di KRC, hampir semuanya berasal dari alam. Hanya ada sebagian kecil yang dihasilkan dari persilangan. Bila ditotal, ada 320 jenis anggrek yang mengisi rumah kaca. Koleksi anggrek yang dimiliki mencakup jenis epifit (menempel di pohon) dan terestrial (hidup di atas tanah). Tarman Jodi, petugas pemelihara anggrek dengan bangga menunjukkan beberapa koleksi spesial, seperti Phalaenopsis amabilis (Maluku), Goelogyne panderata (Kalimantan), Paphiopedilum yogyae, Paphiopedilum javanicum, Dendrobium flox (Habema, Papua) dan Epigenium triflorum (Jambi). ”Tapi kenapa ya nggak banyak yang berbunga,” keluh salah seorang ibu. Soal itu, Tarman menjelaskan dengan sabar. Alasannya, anggrek koleksi KRC merupakan jenis asli dari alam, tentu dibutuhkan penanganan secara khusus. Lagipula masa berbunga anggrek alam tak pernah berbarengan dan tak terlampau sering ketimbang jenis hibrida. Jalan-jalan keliling KRC ini sebetulnya bisa jadi paket jualan yang menarik. Dikemas dengan unsur pendidikan lingkungan yang kental dan bumbu permainan tentu pengunjung pun akan tertarik. Kreativitas memang jadi tuntutan.